BIMA, KOMPAS.com
Dua dari puluhan pengunjuk rasa yang sejak awal pekan ini menutup jalur lalu lintas ke Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, dilaporkan tewas terkena peluru petugas yang melakukan penertiban atau pembuburan aksi tersebut, Sabtu (24/12/2011) pagi. Selain dua warga tewas, belasan lainnya tercatat luka-luka dalam aksi pembubaran paksa massa pengunjuk rasa oleh petugas gabungan yang berakhir anarki itu.
Pengunjuk rasa yang tewas tersebut diketahui bernama Arifrahman (18) dan Syaiful (17). Keduanya adalah warga Desa Suni, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, di ujung timur Pulau Sumbawa.
Pasukan gabungan terdiri dari unsur Brimob Polda Nusa Tenggara Barat dan Polres Bima, dibantu pihak TNI dari Batalyon Kompi A Bima, sejak Sabtu pagi sekitar pukul 07.00 Wita, berupaya melakukan aksi pembuburan terhadap lebih dari 90 orang yang sejak 19 Desember lalu menduduki dan menutup jalur ke pintu masuk Pelabuhan Sape. Pelabuhan ini menghubungkan jalur penyeberangan ke Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Aksi pembubaran itu mendapat perlawanan warga dengan memblokade jalur ke pelabuhan tersebut dan mendadak berujung dengan aksi saling serang antara kedua belah pihak.
Serentetan suara tembakan terdengar dalam hiruk-pikuknya suasana di tempat kejadian. Tak lama berselang, dua pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka.
Kabid Humas Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) Ajun Komisaris Besar Sukarman Husein yang dihubungi terpisah membenarkan bahwa aksi penertiban para pengunjuk rasa di Pelabuhan Sape itu berujung dengan tindakan anarki. Meski demikian, Kabid Humas mengaku belum bisa menjelaskan secara detail karena laporan yang diterima dari lapangan masih simpang siur.
"Benar, ada penertiban aksi blokade di jalan pada pagi tadi, dan mencuat menjadi tindakan yang tidak diinginkan. Namun, petugas di lapangan belum melaporkan informasi detailnya," ujarnya.
Sukarman mengaku tengah menunggu laporan tertulis dari petugas di lapangan, untuk bisa menjelaskan ke publik sesuai fakta sebenarnya. Sukarman juga membenarkan bahwa polisi sudah mengamankan sejumlah warga yang terindikasi melakukan tindakan anarki, meski belum merinci jumlah dan identitasnya.
Pembubaran paksa tampaknya terpaksa harus ditempuh petugas setelah mediasi, dan pendekatan yang ditempuh aparat kepolisian mengalami kebuntuan. Puluhan petugas hingga siang ini masih tampak berjaga-jaga di sekitar pelabuhan yang sempat lumpuh total sejak lebih kurang enam hari.
Opini
Sudah berkali-kali kita mendengar korban kekerasan dari aparat kepolisian. Sudah puluhan atau ratusan bahkan ribuan nyawa rakyat Indonesia melayang oleh senjata aparat negara yang katanya bertugas untuk mengayomi rakyat. Dari masa orde baru sampai masa reformasi cerita tentang arogansi aparat negara seakan tidak pernah berhenti. Seperti yang belum lama ini terjadi, yaitu kasus Mesuji. Atau kasus penembakan anggota GP Anshor Trenggalek yang terjadi di Sidoarjo. Gara-gara motornya serempetan dengan mobil polisi, orang ini tewas tertembak timah panas beberapa orang polisi. Dan yang terakhir yang baru saja terjadi yaitu kasus di pelabuhan Sape, Bima, NTT.
Polisi sering kali lupa, kepada siapa mereka semestinya mengabdi. Mereka lupa siapa yang menggaji mereka. Semboyan bahwa akan mengayomi dan melindungi rakyat sekarang hanya isapan jempol belaka. Aparat negara sekarang lebih banyak berpihak kepada para penguasa dan para pengusaha. Hal ini dapat dilihat dari keadaan sekeliling kita. Kita melihat banyak rumah pejabat dan petinggi daerah atau petinggi negara dan rumah para pengusaha serta kantor para pengusaha yang selalu dijaga ketat oleh polisi. Namun pernahkah kita melihat rumah rakyat kecil yang dijaga polisi ? Kalau kerjanya hanya menjaga rumah orang saja, kenapa kita harus repot dengan menggaji para polisi tersebut ?
Mungkin banyak meminta pengawalan ketat polisi dengan alasan keamanan. Namun bagaimana dengan keamanan kita sebagai rakyat kecil ?. Katanya semua warga negara mendapat perlakuan sama dalam hukum, tetapi kenapa selalu terjadi banyak ketimpangan ?
Sebenarnya bukan hanya polisi saja. Banyak oknum yang memanfaatkan kekuasaan mereka demi kepentingan sendiri. Koropsi, kolusi dan nepotisme sudah menjadi tradisi di negara ini. Banyak orang yang mengubah isi sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi "keuangan yang maha kuasa".
Memang negara ini sudah terlalu parah sakitnya. Negara ini bukan hanya butuh reformasi, tetapi negara ini butuh REVOLUSI...